Budaya Politik Piil Pesenggiri Harus Dilestarikan

Seminar mencari format budaya politik Lampung di Ballroom Hotel Emersia, Bandarlampung, Rabu (16/11)

Taktik Lampung - Falsafah hidup orang Lampung menjunjung tinggi perbedaan suku, perbedaan agama, atau yang lebih dikenal sebagai istilah Fiil Pesenggiri sudah ada sejak terbentuk dan tertatanya masyarakat Lampung.

Hal itu disampaikan oleh Abdul Syani dalam presentasi pada seminar mencari format budaya politik Lampung di Ballroom Hotel Emersia, Bandarlampung, Rabu (16/11).

Eloknya marga Lampung adalah dapat memberikan gelar kepada suku diluarnya dan menjadi salah satu bagian dari rumpun adat Lampung.

Kalau perebutan kekuasaan politik Lampung itu dilihat dari mayoritas suku, sekitar 62 persen berasal dari suku jawa, 12 persen suku penduduk asli Lampung, dan sisanya suku lain. maka kata Abdul Syani mayoritas yang mengungguli.

"Jelas yang mayoritas menang dengan yang minoritas,"kata Abdul Sani saat menyampaikan topik karakteristik budaya politik lampung.

Ia menilai, Penyakit orang lampung itu tidak suka melihat saudaranya yang lain lebih sukses.

"Kalau mau tahu, itu yang jeleknya," katanya.

Dia mengakui, orang Lampung itu orangnya suka memberi. Dia menceritakan pada zaman dulu orang jawa yang mencari pekerjaan di Lampung untuk membersihkan kebon, kopi, lada, diberikan separuh lahannya untuk mereka.

"Proses selanjutnya kebun itu ditanami, dan dibagi dua. Yang punya jawa hidup tanamannya yang pemilik tanamannya mati. Kemudian dibagi lagi tanah pekarangannya dengan lima anak, akhirnya ludes, dan kemudian menghutang kepada pekerjanya tadi, makanya orang jawa banyak kebun dari pemilik orang Lampung," tuturnya.

Apakah nilai budaya, politik Lampung itu Piil pesenggiri, atau bisa ditarik dengan lainnya? Dia menjelaskan Lampung itu menjunjung tinggi Piil Pesenggiri. 

"Piil pesenggiri itu jadi budaya politik orang Lampung dalam berbudaya,"katanya.

Sehingga untuk mewujudkan kearifan lokal, maka masing-masing daerah di provinsi Lampung memiliki slogan. "15 Kabupaten / kota memiliki slogan masing-masing, misalnya Pesawaran slogan Andan Jejama, Pringsewu penduduknya mayoritas suku jawa slogannya tetap bahasa lampung 'Jejama Secancanan'. Artinya mayoritas penduduk tidak masalah pada slogan itu itu,"jelasnya.

Dengan membeda-bedakan suku di Lampung tersebut, Apa yang disampaikan Abdul Syani dalam presentasinya langsung ditanggapi audiens Tajudin salah satu tokoh adat di Lampung.

"Jangan membeda-bedakan suku yang ada di Lampung, kemajemukan ini harus menjadi perekat dalam budaya politik di Lampung. Karana hakikatnya suku asli Lampung itu menerima siapa saja sebagai pendatang, tanpa membeda-bedakan suku,"katanya.


Dia menegaskan, orang jawa, banten dan lainnya yang sudah menetap di Lampung adalah orang Lampung."Jangan membeda-bedakan itu semua. Keterbukaan khususnya lampung pepadun lebih demokratis dalam memilih pemimpin. Menghargai yang lebih tua,"aku dia.

Sementara panelis lainnya Prof.Dr.Fauzi Nurdin dosen Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung memaparkan Bagaimana membudayakan piil pesenggiri di Lampung.

"Dalam menghadapi konsep globalisasi, kita sama-sama dari majelis penyimbang adat lampung (MPAL). Bagaimana aksion MPAL ini yang sudah tersebar ke Kabupaten/ kota di Lampung. Pertama budayakan kelembagaan adat. Kedua menggerakan budaya nilai-nilai budaya,"kata Fauzi Nurdin.

Dia menilai MPAL saat ini tidak berjalan sesuai harapannya."MPAL tadi tidak jalan dalam tanda kutip. Kemudian pelestarian budaya lokal lampung ini masih pada ruang lingkup pubian (Pepadun,red). Kesulitan kita sebagai peneliti data-data otentik yang kita peroleh sedikit dilokasi. Sehingga pernah saya ditanyakan kenapa hanya pepadun, saibatinnya mana?. Faktornya adalah kesulitan mencari bukti otentik saat terjun ke lapangan.(TL)


Post a Comment

0 Comments