LKBH-SPSI : Harus Kemana Buruh di Negeri ini

Foto.Ist

Taktik Lampung - Negara-negara Asia Tenggara berkontribusi terhadap tenaga kerja migran di antaranya bergerak di dalam wilayah ASEAN. Meski jumlah ini semakin meningkat, isu buruh migran tetap menjadi isu klasik yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah nasional maupun ASEAN sebagai organisasi kawasan.

Menurut Litbang Ekosop LKBH-SPSI Ratna Pratiwi mengatakan, ASEAN belum menunjukkan komitmen terhadap kepentingan buruh migran. Persoalan buruh migran belum masuk dalam regulasi ASEAN dan yang diatur selama ini hanya pekerja white collar.

Belum lagi Persoalan buruh migran, termasuk di antaranya masalah tenaga kerja ilegal dan kekerasan yang mereka alami menunjukkan akar masalah sesungguhnya yang terjadi dalam sistem pembangunan.

“Bicara tentang buruh migran bukan hanya bicara mengenai aspek keluarga dan aspek ekonomi. Kita juga perlu berbicara tentang pembangunan politik lokal, nasional, dan global,” kata Ratna melalui rilisnya, Sabtu (25/3)

Apalagi buruh migrant ilegal memang lebih rentan menjadi korban kekerasan karena mereka tidak memiliki jaring pengaman yang dapat melindungi mereka dari perlakuan yang tidak semestinya. Meski demikian, banyak warga desa yang tetap memilih untuk menjadi buruh migran secara ilegal demi mengumpulkan penghasilan yang lebih besar untuk kesejahtraan.

" Banyak yang tetap memilih ilegal karena gajinya lebih besar, tidak dipotong-potong lagi oleh perusahaan. Memang ada alasan yang lain, tetapi sejauh yang kami tangkap itu menjadi salah satu alasan mereka,” kata dia

Belum lagi Kondisi pembangunan di desa mereka yang relatif rendah, membuat para buruh migran khususnya para perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menyuarakan hak politik mereka selama mereka bekerja. Pada akhirnya, situasi ini membuat mereka terbiasa dengan risiko sosial dan kerentanan yang timbul dari sistem yang ada.

“Selama di daerah mereka tidak pernah belajar untuk bernegosiasi dengan negara untuk memperjuangkan pelayanan publik. Bagaimana mereka kemudian bisa mengadvokasi diri mereka untuk memperoleh hal-hak mereka yang lain?” ucap dia

Tentu pemerintah harus bertangung jawab dengan hal tersebut. Lalu, bagaimana pembuat kebijakan untuk dapat berpihak dan memperhatikan kepentingan terhadap kesejahtraan buruh.

beberapa waktu yang lalu Eksekusi mati terhadap ZAINI MISRIN (buruh migrant indonesia di Saudi Arabia) hari minggu tanggal 18 Maret 2018 jam 11.30 siang waktu Saudi Arabia, ini adalah bentuk sikap dari pemerintah Indonesia sebagaimana wujud dari perhatian ketidak perdulian terhadap kaum buruh.

EKSEKUSI terhadap Muhammad Zaini Misrin (53) berasal dari Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur adalah bentuk pelangaran hak asasi manusi, apalagi jika menurut pada pengakuan zairin misrin bahwa dia dipaksa untuk mengakui melakukan pembunuhan setelah mengalami tekanan dan intimidasi dari otoritas saudi arabia. pada proses sidang hinga dijatuhkan vonis hukuman mati, zaini misrin tidak mendapatkan penerjemah yang netral. Masih ada 21 buruh migran yang divonis hukuman mati di Saudi Arabia. Diantara 21 buruh migran yang divonis hukuman mati 2 diantaranya tinggal menunggu waktu.

Pemerintah Indonesia kecolongan, bahwa eksekusi terhadap Muhammad Zaini Misrin tidak selayaknya terjadi seperti tidak beradab Kasus ini bukan-lah pertama kalinya, sebelumnya pada tahun 2011 dan 2014 juga terdapat 3 TKI di Arab Saudi bernama Ruyati, Siti Zainab dan Karni yang dijatuhi eksekusi mati karena membunuh majikan yang tidak beritahukan (Notifikasi Konsuler) oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Kantor Perwakilan Konsuler Indonesia di Arab Saudi.
bahwa tindakan otoritas Arab Saudi yang tidak melakukan kewajiban pemberitahuan kepada pihak Indonesia (Mandatory Consular Notification) telah melanggar prinsip-prinsip tata krama hukum Internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Tentu selemahnya iman adalah mengecam dan mengutuk eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin atas pelanggaran HAM yang paling dasar, yakni Hak atas Hidup dan Hak atas upaya Hukum. Pemerintah pun turut serta bertangung jawab atas pelangaran HAM sebagaimana akibat pembiaran dan lemahnya Upaya Upaya pendampingan Hukum yang telah terjadi berkali-kali yang tidak melakukan kewajiban pemberitahuan kepada pihak Indonesia (Mandatory Consular Notification). Pemerintah sangat lalai dan kurang memperhatikan bagaimana jaminan terkait kesejahtraan warga Negara Indonesia khususnya Buruh. (TL/*)

Post a Comment

0 Comments